- Monday, 09 April 2012 00:20
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Apresiasi
saya pada pesantren adalah karena pandainya para Kyai membekali
santrinya dengan pelajaran yang berguna seumur hidup, sebagian bisa
saya pahami sejak kecil waktu pelajaran tersebut diberikan – tetapi
tidak sedikit yang baru saya pahami setelah tua begini.
Salah satu pelajaran tersebut tiba-tiba begitu berguna ketika beberapa
hari lalu saya diundang sebagai pembicara tamu pada pelatihan entrepreneurship di sebuah hotel mewah di Jakarta.
Saya memang terlibat dalam banyak pelatihan entrepreneurship beberapa tahun terakhir, tetapi yang saya latihkan biasanya lebih pada ‘nyemplung’ di lapangan. Saya sudah lama tidak membuat business plan yang njlimet-njlimet seperti yang biasa dilakukan para (calon) entrepreneur dari kalangan sekolah business atau para eksekutif.
Sebelum
giliran saya berbicara, para peserta sudah lebih dahulu belajar
bagaimana menggali ide business, bagaimana mewujudkan impian untuk
menjadi pengusaha, bagaimana memotivasi diri untuk menjadi pengusaha
sukses – lengkap dengan contoh-contoh orang sukes di dunia maupun di
Indonesia.
Maka
ketika giliran saya bicara tentang kambing, tentang rumput alfaafa,
tentang kebun dlsb. hal-hal kecil sederhana yang kita lakukan di
lapangan – mereka tentu agak sulit memahaminya sebagai sebuah konsep
bisnis bagi entrepreneur yang mereka bayangkan. Lebih-lebih ketika saya menjelaskan filosofi business model ke 3 yang kita kembangkan.
Salah satu peserta training yang rupanya juga eksekutif di perusahaan besar public men-challenge saya dengan argumennya yang nampak sangat matang dibangun oleh pengalamannya. Pertanyaannya kurang lebih begini :
“Pak
Iqbal, kalau membuat rencana business model pertama dengan orientasi
profit – kita biasa dengan hitung-hitungan yang akurat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Model kedua yaitu menciptakan nilai – value
creation, itu juga bisa di skenariokan dengan cukup meyakinkan. Tetapi
bagaimana kita bisa yakin dengan hasil dari business model ke 3, yang
mengandalkan balasan dari Allah yang sulit atau bahkan tidak terukur ?”.
Ketika
pertanyaan tersebut muncullah saya merasa pelajaran dari Pak Kyai lebih
dari empat puluh tahun yang lalu tiba-tiba menjadi sangat relevan.
Pertanyaan ini mirip dengan bagaimana cara Pak Kyai mendidik kami
dahulu.
Untuk
anak-anak santri yang masih kecil kami biasa diberi berbagai hadiah
untuk bisa berpuasa penuh, mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dlsb. Suatu
hari hadiah-hadiah ini dihentikan oleh Pak Kyai, maka anak-anak ini
menjadi loyo puasanya dan pada tidak selesai membaca Al-Qur’annya.
Melihat
gejala ini menjelang magrib Pak Kyai mengumpulkan santri-santri
kecilnya, dengan wibawanya yang khas – Pak Kyai bertanya kepada
anak-anak “Mengapa anak-anak pada loyo ?, mengapa sampai
ada yang batal puasanya sebelum magrib ?, mengapa pada tidak sampai
menyelesaikan bacaan Al-Qur’annya ?”.
Tidak ada yang bisa atau mau menjawab pertanyaan Pak Kyai ini. Kemudian Pak Kyai mengulangi pertanyaannya lagi, sambil ditambahi “ untuk yang mau menjawab secara jujur, Pak Kyai akan berikan hadiah sarung baru…”. Baru seorang santri kecil karena tertarik dengan hadiahnya menjawab : “anu Pak Kyai...” sambil melihat teman-temannya takut dimarahi – anak ini melanjutkan “hari-hari
awal puasa kami giat berpuasa dan membaca Al-Qur’an karena Pak Kyai
memberi kami hadiah, sudah beberapa hari ini Pak Kyai tidak lagi memberi
hadiah ke kami, jadi kami menjad kurang bersemangat”.
Jawaban
jujur ini tidak mengagetkan bagi Pak Kyai, karena setiap tahun menerima
rombongan santri kecil baru - hal yang sama terus berulang. Dari
sinilah Pak Kyai memasukkan pelajaran yang sangat berguna tersebut.
Dengan sabar dia sampaikan :
“Begitulah
anak-anakku, sifat manusia yang serba terburu-buru. Kalian menghendaki
balasan yang sedikit dari Pak Kyai, melupakan balasan yang tidak
terbatas dari Allah Sang Pencipta. Kalian lebih percaya pada Pak Kyai
yang bisa khilaf, bisa berbohong, bisa kehilangan kemampuan untuk
memberi, daripada percaya kepada Allah yang pasti menepati janjiNya,
tidak pernah khilaf dan tidak pernah berkurang kekuasaanNya !”.
Ndak
tahu mengapa – ketika mendapatkan pertanyaan sulit dari eksekutif
tersebut diatas, tiba-tiba jawaban Pak Kyai lebih dari 40 tahun lalu
tersebut seolah terngiang kembali. Maka meluncurlah jawaban saya untuk
seluruh peserta latihan :
“Begitulah
kita semua, kita serba terburu-buru untuk memperoleh hasil dalam setiap
rencana. Kita lebih suka dengan hasil yang sedikit yang ada di bayangan
kita, ketimbang hasil yang tidak terhingga yang menuntut keimanan untuk
meyakininya. Kita lebih percaya pada asumsi-asumsi yang bisa menipu
diri kita sendiri ( saya tahu bahwa para pembuat business plan paham dengan ketidak akuratan asumsi), ketimbang janji Allah yang sudah pasti !”.
Si penanya belum puas dengan jawaban ini, dia melanjutkannya: “ maksud
saya begini Pak Iqbal, kalau kita membuat business plan – semua kan
terukur. Tahun ke berapa hasilnya seperti apa dst. Sedangkan janji Allah
bagaimana kita bisa mengukurnya ?, berapa yang akan diberikannya dan kapan ?”.
Saya kembali teringat penjelasan Pak Kyai , “Allah
itu maha tahu, termasuk tahu apa yang terbaik untuk kita. Apa yang
terbaik untuk diberikan ke kita dan kapan diberikannya !”. Saya tahu belakangan setelah dewasa bahwa yang disampaikan Pak Kyai tersebut berasal dari QS 3 : 27 “… Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Penjelasan yang serupa saya berikan ke penanya dan saya tambahi : “Untuk hitungannya, tidak benar juga bila dikatakan bahwa business plan yang dibuat manusia lebih akurat dan terukur hasilnya berapa
dan kapan. Statistik start up – usaha pemula di seluruh dunia; paling
banter hanya sekitar 2 % saja yang berjalan sesuai rencana. 98 % atau
bahkan lebih start-up kandas di tengah jalan tidak peduli sebaik apapun
business plan-nya dibuat”.
Sebaliknya
janji Allah sangat terukur, dan pasti dipenuhiNya – yang diperlukan
hanya keimaan kita untuk mempercayaiNya dan menyerahkan hasil sepenuhnya
berada di tanganNya. Masalah keterukuran janji Allah ini salah satunya
ada di ayat berikut in :
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2 :261).
Dari ayat ini kita akan ketemu perkalian angka 7 x 100 = 700. Angka yang sama kita akan peroleh dari hadits shahih berikut : “Sesungguhnya
Allah telah menetapkan semua kebaikan dan kejelekan, kemudian
menerangkannya. Barangsiapa yang meniatkan satu kebaikan lantas tidak
jadi ia amalkan, maka Allah telah mencatatnya sebagai satu kebaikan
disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat lantas ia amalkan, maka
Allah mencatat untuknya 10 kebaikan sampai 700 kali lipat, bahkan sampai
pelipatgandaan yang tidak terbatas. Dan barangsiapa yang berniat
melakukan kejahatan kemudian tidak jadi ia amalkan, maka Allah telah
mencatat hal untuknya sebagai satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna,
dan jika ia berniat kejahatan dan jadi ia lakukan, maka Allah mencatat
itu untuknya sebagai satu kejahatan saja.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Setelah menyampaikan jawaban ini, diluar forum peserta lain bertanya (mugkin tidak enak dengan trainer formalnya untuk menanyakan di dalam forum) : “ kalau begitu apakah ada gunanya Pak Iqbal kita membuat busness plan ?”.
Saya jawab : “ Oh
tidak begitu juga maksud saya, silahkan buat business plan secukupnya –
tetapi jangan terlalu mengandalkannya. Saya biasa membuat yang sederhana dalam satu- dua halaman,
hanya untuk mengetahui sesiap apa kita akan terjun ke bidang yang akan
kita tekuni. Selebihnya ‘nyemplung’ bekerja di lapangan dan
banyak-banyak berdo’a dan memohon pertolonganNya, karena hanya Dia-lah
Sang penentu keberhasilan itu – sedangkan kapling kita hanya ber-ikhtiar”.
Mungkin tidak terlalu mudah diterima di jaman ini, tetapi saya sendiri memang lebih comfortable dengan Business Plan A la Pak Kyai ini. Wa Allahu A’lam.