- Wednesday, 04 April 2012 08:28
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Dalam
24 jam minimal 17 kali sehari kita minta ditunjuki jalan yang lurus,
bahkan bisa lebih dari dua kalinya bila kita juga melanggengkan shalat
sunat. Tetapi pernahkan kita berfikir seberapa penting jalan yang lurus
ini sehingga begitu banyak perlu kita minta ?. Tanpa sadar ternyata
begitu banyak jalan bengkok atau jalan melenceng telah kita tempuh sejak
kecil, bahkan sampai tua-pun begitu mudah jalan-jalan melenceng
membelokkan perjalanan kita.
Kalau
pingin tahu dimana jalan melenceng ini mulai membelokkan arah kita,
Anda bisa membaca buku-buku pelajaran anak-anak sekolah dasar di tempat
Anda. Dengan mudah Anda akan jumpai pelajaran yang menganggap semua
agama sama, bagaimana anak kita bisa yakin dengan agamanya bila semua
agama dianggap sama ?. Bagaimana bisa tumbuh iman dengan pelajaran
seperti ini ?
Di
ibukota negeri ini dan dijaman modern ini bahkan di sekolah dasarnya
ada pelajaran untuk menghafalkan upacara kembang 7 rupa, dan pelajaran
lain yang berbau kurofat. Bagaimana kita bisa selamat dari takhyul,
kurofat dan sejenisnya bila justru di usia dini kita belajar yang
demikian ?.
Di
tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi penyimpangan itu bentuknya lain
lagi. Kita belajar demokrasi dalam segala hal, tidak penting lagi mana
yang benar dan mana yang salah karena yang paling banyak pendukung
itulah yang dianggap benar. Mungkin karena inipula maka korupsi untuk
money politics dan sejenisnya seolah menjadi halal (karena telah menjadi
mahar !), ya karena itu tadi kalau mayoritas melakukannya
(menyetujuinya) – maka inilah yang benar menurut alam demokrasi.
Di
sekolah dan perguruan tinggi, kita belajar ekonomi kapitalisme dan
ekonomi ribawi, bahkan nyaris tidak ada pelajaran untuk bagaimana
bermuamalah yang syar’i. Saya terkejut bukan kepalang ketika suatu saat
diundang untuk bicara di forum dekan dari perguruan-perguruan tinggi
yang memiliki fakultas ekonomi dari suatu organisasi masa Islam yang
sangat besar. Bayangan saya selama ini ekonomi Islam-lah yang mereka
ajarkan kepada para mahasiswanya. Ternyata tidak – sami mawon yang mereka ajarkan, mereka baru berniat untuk mengajarkan ekonomi Islam.
Kemudian
keterkejutan saya bertambah-tambah, ketika suatu hari ada kunjungan
dosen eknomi dari perguruan tinggi Islam yang dulu tempatnya mengkader
para ulama – dengan naïve nya saya membayangkan sedang ketamuan
ahli ekonomi Islam. Ternyata tidak juga, sang dosen malah bercerita
bahwa ekonomi yang dia ajarkan masih yang konvensional – kapitalisme dan
ribawi. Ekonomi Islam baru diajarkan di fakultas lain yang memang
dikhususkan untuk itu.
Dengan
gambaran itu semua, maka saya tidak heran lagi mengapa di negeri yang
mayoritas muslim ini – fatwa ulamanya tentang bunga bank riba nyaris
tidak digubris oleh masyarakatnya.
Penyimpangan
berikutnya yang sangat dasyat sekarang adalah ketika tokoh-tokoh – yang
seharusnya menjadi panutan – negeri ini berpolitik. Saling sikut,
saling fitnah, saling sandera kepentingan seolah menjadi panglima di
negeri ini. Ongkos politik menjadi sangat mahal, saya bahkan mengenal
secara pribadi beberapa teman yang menjadi bangkrut gara-gara tidak
terpilih menjadi aleg, menjadi bupati, menjadi gubernur dlsb.
Kenapa
mereka bangkrut ketika tidak terpilih ?, mengapa kalau terpilih mereka
tidak bangkrut tetapi malah pada kaya raya ?. Gaji-nya kah yang dipakai
untuk membayar ongkos pemilihannya ?. Oh tidak, gajinya malah nyaris
tidak disentuh – tetapi jalan lainlah yang membuatnya mampu me-recover
secara berlebih ongkos pemilihannya – ini sudah menjadi rahasia umum di
masyarakat. Jalan lain inilah jalan yang menyimpang, yang seolah-olah
menjadi jalan tol untuk peningkatan strata sosial secara cepat bagi para
penempuhnya.
Daftar
jalan menyimpang ini terus bertambah panjang untuk kita yang menjadi
pegawai maupun kita yang menjadi entrepreneur. Setan berdiri di setiap
simpang jalan, mengarahkan kita pada jalannya yang seolah menjadi jalan
tol untuk sampai ke tujuan kita. Setan-setan ini-pun mem-blokade jalan
lurus kita dengan kawat-kawat berduri – sehingga seolah kita tidak akan
mampu melaluinya.
Itulah
perlunya kita minta ditunjukiNya jalan yang lurus minimal 17 kali
sehari. Agar jalan lurus itu tetap nampak di mata kita, agar tetap bisa
kita lalui dengan aman, agar setan tidak memalingkan muka kita ke jalan
sesatnya.
Tetapi
bagaimana dijaman seperti ini kita bisa ‘mengaman’-kan jalan lurus ini
selain melalui do’a-do’a kita yang tidak mengenal lelah ?. Kita harus
mulai membentinginya sejak pertama kali setan berdiri di persimpangan
jalan kita. Kita harus kawal perjalanan kita dan anak-anak kita dengan
upaya nyata.
Untuk
anak-anak dan cucu-cucu kita, kita harus mulai bisa membangun
pendidikan yang berbasis iman. Kemudian untuk kita sendiri para orang
tua, kita juga harus bisa mulai memberi contoh kearah mana generasi yang
akan datang kita bawa, dalam bermasyarakat, dalam bermuamalah dan
dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.
Kita
tidak boleh lelah dalam menyingkirkan pagar kawat berduri yang ditaruh
setan-setan di jalan kita. Kita tidak boleh lelah untuk membangun
jama’ah yang saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati
untuk kesabaran.
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri
nikmat kepanaya; bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan
mereka yang sesat”. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar