Agama Islam yang sempurna telah mengatur
dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk
menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan
dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.
Allah berfirman,
{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Dan ketika sahabat yang mulia, Salman Al-Farisy radhiallahu ‘anhu ditanya oleh seorang musyrik, Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab, ”Benar, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar dan ketika buang air kecil…[1]
Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan,
semua telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih,
dengan tujuan untuk membimbing orang-orang yang beriman agar mereka
meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pembelanjaan harta mereka yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»
“Sungguh tidaklah engkau
menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah
Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran
pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada
istrimu.”[2]
Disamping itu, mengatur pembelanjaan harta sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala
merupakan cara terbaik untuk mengatasi keburukan nafsu manusia yang
tidak pernah puas dengan harta dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi)
harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang
ketiga.”[3]
Juga sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[4]
Kewajiban mengatur pembelanjaan harta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»
“Tidak akan bergeser dua telapak
kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai
pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang
ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana
diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk
apa digunakannya.”[5]
Hadits yang agung ini menunjukkan
kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk
hAl-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti
manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka
belanjakan sewaktu di dunia.[6]
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menyia-nyiakan harta).[7]
Arti “idha’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan.[8]
Antara pemborosan dan penghematan yang berlebihan
Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,
{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman
adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan
mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)
Artinya, mereka tidak mubazir
(berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan
(bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka
sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi
(keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat
(dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat
(pertengahan).[9]
Juga dalam firman-Nya,
{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29)
Imam Asy-Syaukani ketika menafsirkan
ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini, larangan bagi manusia untuk
menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya
sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak
(membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya
musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith
(terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya
bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh
Allah.”[10]
Waspadai fitnah (kerusakan) harta!
Perlu diwaspadai dalam hal yang
berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang
ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut,
sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[11]
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta
secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena
harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Tagaabun: 15).[12]
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari
kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan
ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia
tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia
yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[13], kecuali orang-orang
yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya
seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka
dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[14]
Sifat rakus inilah yang akan terus
memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam,
dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan
pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini
merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,
“Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas
dari tiga (kerusakan dan penderitaan), Kekalutan (pikiran) yang tidak
pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada
akhirnya.[15]
Dalam hal ini, salah seorang ulama
salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara
berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung
berbagai macam penderitaan.”[16]
Zuhud dalam masalah harta
Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala,
tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada
harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak
menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan
segera menggunakannya untuk hAl-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya,
sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, Apakah
makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata, “(Maknanya
adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia
(berada) di waktu pagi dia berkata, Aku (khawatir) tidak akan (bisa
mencapai) waktu sore lagi.”[17]
Salah seorang ulama salaf berkata,
“Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan
dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan
kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa
yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan
sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan
(kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu
tetap ada padamu.”[18]
Jangan lupa menyisihkan sebagian harta untuk sedekah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan
(sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki
yang sebaik-baiknya” (QS. Sabaa’: 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat.[19]
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»
“Tidaklah sedekah itu mengurangi
harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian
maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang
merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan
(derajat)nya.”[20]
Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hAl-hal yang akan
merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan
kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.”[21]
Maka keutamaan besar ini jangan sampai
diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan
harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah
tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas
untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka
walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma.”[22]
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu
perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan
engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.”[23]
Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.”[24]
Nasehat dan penutup
Kemudian yang menentukan cukup atau
tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah
anggaran harta yang disediakan, karena berapapun banyaknya harta yang
disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan
selalu memuntut lebih.
Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam
diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu
karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang
hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[25]
Sifat qana’ah ini adalah salah
satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini
menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan
dan takdir Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta
(nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[26]
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb”
adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan
dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak
diberikan-Nya[27].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah
dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia
dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki
yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.”[28]
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan
memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan
sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita
semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang
diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan
petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi
Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 1 Dzulhijjah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
Artikel www.manisnyaiman.com
footnote:
[1] HSR Muslim (no. 262).[2] HSR Al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).
[3] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[4] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.
[5] HR At-Tirmidzi (no. 2417), Ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani dalam “As-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[6] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).
[7] HSR Al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).
[8] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).
[9] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
[10] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).
[11] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.
[12] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
[13] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).
[14] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[15] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).
[16] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).
[17] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).
[18] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).
[19] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).
[20] HSR. Muslim (no. 2588).
[21] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).
[22] HSR Al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).
[23] HSR Muslim (no. 2626).
1 HSR Al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
2 HSR Al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[26] HSR Muslim (no. 34).
[27] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[28] HSR Muslim (no. 1054).