Halaman

Jumat, 24 Agustus 2012

Bagaimana Inflasi Merenggut Kemakmuran Dari Kita ?

Oleh : Muhaimin Iqbal

Bila Anda memasuki dunia kerja awal tahun 80-an, tahun-tahun ini Anda akan memasuki usia pensiun. Tergantung seberapa cemerlang karir Anda, tetapi bila Anda masuk kedalam kelompok terbesar dari pekerja di negeri ini – maka kemungkinannya Anda merindukan masa-masa awal Anda bekerja dahulu. Saat itu gaji Anda masih kecil tetapi terasa cukup, kini gaji Anda sudah jauh lebih besar – tetapi terasa semakin tidak cukup. Jangan salahkan pasangan hidup Anda, atau beban biaya anak-anak Anda – salahkanlah inflasi !.

Selain kenaikan biaya hidup karena bertambahnya kebutuhan seperti biaya istri dan anak-anak, inflasilah yang sesungguhnya merenggut kemakmuran dari jerih payah para pekerja. Ini berlaku di seluruh dunia, tetapi di negara yang rata-rata inflasinya tinggi – dampaknya tentu jauh lebih berat bagi masyarakatnya.

Untuk memahami pengaruh inflasi pada kemakmuran ini, saya ambilkan contoh pekerja rata-rata di tiga negara yaitu Indonesia, Amerika dan Singapura. Tiga sarjana baru dari masing-masing negara tersebut mulai bekerja pada saat bersamaan di tahun 1982. Ketika masuk bekerja yang di Indonesia digaji Rp 325,000/bulan; yang di Amerika digaji US$ 520/bulan dan yang di Singapura di gaji S$ 1,110/ bulan.

Sepanjang karirnya 30 tahun terakhir di masing-masing negara, prestasi mereka biasa-biasa saja. Mereka tidak mengalami promosi jabatan yang luar biasa. Mereka memperoleh kenaikan gaji yang sama (oleh berbagai sebab) yang bila di rata-rata adalah 10% per tahun selama tiga puluh tahun terakhir.

Berapa masing-masing gaji mereka sekarang ? Yang di Indonesia gaji mereka sekarang adalah Rp 5,671,000,- ; yang di Amerika gaji mereka US$ 9,074,- dan yang di Singapura gaji mereka adalah S$ 19,370,-. Dengan income seperti ini tingkat kemakmuran yang di Indonesia lebih rendah dari yang di Amerika dan jauh lebih rendah lagi dari yang di Singapura. Semua gaji mereka naik dengan persentase yang sama seperti grafik di bawah, mengapa yang satu lebih makmur dari yang lain ?.

Salary at Original Currencies

Itulah tingkat inflasi yang membedakannya. Untuk mengukurnya kita bisa gunakan timbangan yang adil yang menurut Imam Ghazali hanya ada dua yaitu emas (Dinar) atau perak (Dirham). Gaji masing-masing pekerja di tiga negara tersebut di tahun 1982 kurang lebih sama bila di konversikan ke Dinar yaitu 10 Dinar.

Namun setelah mengalami kenaikan gaji pada mata uang masing-masing @ 10 %, dampaknya menjadi berbeda ketika mata uang mereka ini dikonversikan ke timbangan yang sama yaitu Dinar. Yang bergaji Rupiah, bukannya naik malah turun terus sepanjang 30 tahun terakhir. Gaji mereka yang telah naik sekitar 17.5 kalinya dalam Rupiah, ternyata ketika dikonversikan ke Dinar malah turun tinggal sekitar ¼- nya. Gaji mereka yang 10 Dinar tahun 1982, kini tinggal sekitar 2.6 Dinar.

Yang bergaji US$ maupun S $ sekarang masing-masing setara dengan 40 Dinar dan 69 Dinar. Perhatikan pada grafik dibawah ketika semua penghasilan pegawai rata-rata di tiga negara tersebut dikonversikan ke Dinar.

Salary Converted to Dinar


Meskipun tingkat kemakmuran yang masih tinggi, ternyata trend kemakmuran di Amerika maupun Singapura selama 10 tahun terakhir juga mengalami kemunduran – inflasi atau penurunan daya beli uang mereka selama 10 tahun terakhir rupanya juga berjalan lebih cepat ketimbang kenaikan-kenaikan gaji mereka.

Yang mengalami dampak penurunan kemakmuran ini tentu bukan hanya masyarakat pekerja, kalangan dunia usaha-pun demikian. Bila mereka tidak berhasil tumbuh melebihi laju inflasi, maka mereka tidak akan mampu memepertahankan kemakmuran seluruh stake holder-nya (termasuk pegawainya) dan size usaha mereka secara riil akan menyusut.

Dengan gambaran yang begitu nyata tersebut, adalah naïve bila kita abaikan faktor inflasi ini dalam menjaga kemakmuran kita. Dinar atau Dirham hanyalah salah satu alat untuk melindungi kemakmuran kita agar tidak habis direnggut inflasi, banyak instrument lain yang juga berfungsi sama - seperti asset riil yang berputar dengan baik dlsb. Insyaallah.

Rabu, 22 Agustus 2012

Inspirasi Ramadhan: “Carilah Jalan untuk Mencintai Al Qur’an!”

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Ikhwan wa akhwat rahimakumullah jami’an.
Ramadhan ini sering disebut sebagai Syahrul Qur’an; posisi Al Qur’an di bulan ini sangat significant dibandingkan bulan-bulan lain. Selagi Anda semua terus beribadah menyempurnakan shaum dan qiyam di bulan ini, ada sebuah INSPIRASI besar yang ingin disampaikan. Semoga dengan segala kelebihan, keberkahan, dan kesiapan ruhiyah kita di bulan ini; kita bisa memetik sebaik-baik hikmah amalan, untuk dijalankan. Amin Allahumma amin.
DALIL SYAR’I
Ada beberapa hadits Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam terkait Al Qur’an. Nabi pernah bersabda: “Khairukum man ta’allamal qur’an wa ‘allamahu” (sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya). Di kesempatan lain, beliau menyuruh kita untuk selalu membaca Al Qur’an: “Iqra’ul qur’ana fa innahu saya’ti yaumal qiyamati syafi’an li ashabih” (bacalah Al Qur’an itu, karena ia kelak akan datang di Hari Kiamat sebagai penolong bagi para sahabatnya -sahabat Al Qur’an-). Dua riwayat ini shahih semua. Riwayat pertama menjelaskan kedudukan orang-orang yang selalu belajar-mengajar Al Qur’an. Riwayat kedua menjelaskan, bahwa Al Qur’an kelak akan menjadi SYAFAAT (penolong) bagi para pecintanya.
Dalam riwayat lain, seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Bilakah terjadi Hari Kiamat?” Nabi tidak langsung menjawab, tetapi beliau malah berkata: “Apa yang engkau telah siapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?” Kemudian sahabat itu berkata: “Aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (Maksudnya, persiapan yang dia miliki untuk menghadapi Hari Kiamat ialah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya). Lalu Nabi berkata, “Al mar’u ma’a man ahabbu” (seseorang itu kelak akan bersama siapa saja yang dicintainya).
Jika kita mencintai Al Qur’an, maka kelak kita akan bertemu dan bersanding dengan yang kita cintai (Al Qur’an). Maka riwayat-riwayat ini mendorong kita semua untuk mencari jalan dalam mencintai Al Qur’an. Janganlah seorang Muslim berhenti, istirahat, atau merasa santai; sebelum dia menemukan jalan untuk mencintai Al Qur’an.
PRINSIP MENCINTAI AL QUR’AN
Ada beberapa prinsip penting dalam mencintai Al Qur’an, yaitu sebagai berikut:
[1]. Kita bisa mencintai Al Qur’an dengan membacanya (tilawah), atau menghafalnya (tahfizh), atau memahami isinya (tafhim), atau mengajarkannya (ta’allum), atau melakukan studi atasnya (dirasah).
[2]. Pilih salah satu dari cara yang paling memungkinkan kita lakukan, sesuai kesempatan yang ada, kemampuan yang dimiliki, serta kebutuhan yang paling urgen bagi kita. Boleh juga dilakukan kombinasi dua cara atau lebih.
[3]. Hendaknya kita setiap hari (daily) terus berinteraksi dengan Al Qur’an, sesuai cara yang telah kita pilih. Usahakan, jangan sekali pun lalai dari berinteraksi dengan Al Qur’an, meskipun hanya sedikit yang kita peroleh. Prinsipnya, amal terbaik di sisi Allah ialah yang dawam (kontinue), meskipun sedikit jumlahnya. Dalam riwayat disebutkan: “Adwamuha wa in qolla” (yang terus-menerus, meskipun sedikit). Perkara yang dihargai disini ialah KONSISTENSI kita, bukan kuantitas amalan.
[4]. Lakukan upaya membaca, atau menghafal, atau memahami, atau studi secara runut dari awal sampai akhir; maksudnya, dari sejak Surat Al Fatihah sampai Surat An Naas. Jangan meloncat-loncat, jangan serabutan; jalan bolak-balik dari depan ke belakang, lalu belakang ke depan; pokoknya bersifat runut dari awal sampai akhir. Mengapa demikian? Karena memang urutan-urutan itu telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala; setiap bulan Ramadhan Jibril ‘Alaihissalam selalu memeriksa bacaan Al Qur’an Nabi. Urut-urutan ini harus kita hormati dan agungkan, sebagaimana Allah Ta’ala dan Rasul-Nya telah meridhai urut-urutan itu.
[5]. Jika Anda sudah menemukan cara terbaik dalam mencintai Al Qur’an; sesuai keadaan Anda, kemampuan yang Anda miliki, sesuai kebutuhan paling urgen, sesuai kesempatan yang ada; dan Anda mulai mendapatkan banyak keberkahan dari upaya mencintai Al Qur’an ini; maka pelihara amal Qur’ani harian ini sampai engkau berjumpa Rabb-mu. Pelihara terus, pelihara sekuat tenaga, secara konsisten, sampai kita benar-benar menjadi sahabat Al Qur’an. Bisa jadi, suatu masa kita akan mengubah cara kita; tidak mengapa, sebab memang hal ini termasuk bagian dari keluasan agama kita; namun nanti setelah memilih cara baru, harus konsisten juga. Pendek kata, jangan sampai kehilangan amal Qur’ani harian ini.
Secara Syariat Islam, kita tidak diwajibkan untuk menghafal Al Qur’an, atau tidak diwajibkan mengkhatamkan Al Qur’an setiap 3 hari, setiap seminggu, atau setiap bulan. Tidak ada kewajiban seperti itu, sebab amaliyah Qur’an bersifat mastatha’tum (sesuai kesanggupan kalian). Namun mencintai Al Qur’an adalah pilihan terbaik, jika kita ingin dimudahkan dalam kehidupan dunia, dan diselamatkan di Akhirat nanti (melalui syafaat Al Qur’an).
AMAL HARIAN PRAKTIS
Secara praktis, upaya mencintai Al Qur’an ini bisa dilakukan dengan alternatif cara sebagai berikut…
[a]. Membaca Al Qur’an, rutin satu halaman setiap hari. Jika mampu lebih dari satu halaman, silakan; tetapi harus konsisten, merasa ringan, dan bersemangat.
[b]. Menghafal Al Qur’an per hari 5 ayat, atau setengah halaman, bila mampu. Bila mampu lebih dari itu, misalnya satu halaman per hari, itu sangat baik. Hafalan sedikit-sedikit tidak mengapa, asalkan konsisten.
[c]. Memahami ayat Al Qur’an dan terjemahnya (tadabbur), satu pasal setiap hari. Pada Al Qur’an dan Terjemahnya, terbitan Depag RI, materi ayat-ayat sudah disusun berdasarkan pasal-pasal. Jika kita setiap hari bisa membaca satu pasal ayat dan terjemahnya, itu sangat baik. Sekali lagi, asalkan konsisten, bukan angin-anginan.
[d]. Mempelajari tafsir Al Qur’an, ayat demi ayat, rutin setiap hari. Jika mampu membaca beberapa versi tafsir Al Qur’an, itu lebih baik.
[e]. Membaca Al Qur’an dengan tajwid yang sempurna, misalnya 3 ayat 3 ayat, setiap hari. Silakan jika mampunya demikian.
[f]. Mengejar bacaan Al Qur’an, setiap hari 1 juz, atau 1/2 juz. Targetnya memperbanyak khatam Al Qur’an. Kalau sehari 1 juz, sebulan khatam; kalau sehari 1/2 juz, dalam dua bulan baru khatam. Membaca 1/4 juz, juga tidak apa-apa. Asalkan rutin setiap hari dan konsisten.
[g]. Menghafal Al Qur’an surat demi surat. Boleh dimulai dari juz 30, lalu juz 29, lalu juz 28, dan seterusnya. Dimulai dari surat-surat pendek sampai surat-surat panjang seperti Al Baqarah, Ali Imran, An Nisaa’, Al Maa’idah, dan lainnya.
[h]. Hanya membaca terjemah Al Qur’an, tanpa membaca ayatnya, sehari misalnya membaca 1 juz terjemah Al Qur’an, seperti layaknya membaca buku. Ini tidak apa-apa, jika kita memang mampunya demikian. Tetapi saat-saat tertentu, tetap harus membaca ayatnya sesuai kaidah tajwid; sebab terjemahan itu jelas bukan lafazh asli dari Al Qur’an.
[i]. Menghafal nama-nama Surat Al Qur’an, nomer suratnya, jumlah ayatnya, latar-belakang nama surat, dan isi umum yang terkandung dalam surat tersebut. Boleh menghafal pengetahuan demikian. Tetapi saat-saat tertentu tetap harus membaca ayat aslinya, karena ia memiliki keutamaan sebagai amal Tilawah Qur’an.
[j]. Membaca ayat-ayat tertentu pada Al Qur’an dengan melagukannya (qira’ah). Misalnya dengan menggunakan lagu Baiyati, Hijaz, Rast, Nahawand, dan lainnya. Tetapi harus tetap menyediakan waktu untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an secara tartil, sesuai kaidah-kaidah tajwid. Karena asas bacaan Al Qur’an adalah tartil; sedangkan melagukan ialah dalam rangka mencintai dan mengagungkan ayat-ayat Al Qur’an.
[h]. Dan lain-lain cara yang kita sanggupi, mampu lakukan, dan butuhkan.
Pilihlah salah satu di antara sekian cara untuk mencintai Al Qur’an. Lakukan hal itu sebagai AMALAN HARIAN, dan terus lakukan secara konsisten. Jangan melihat kuantitas, tetapi lihatlah sisi konsistensinya. Hal inilah yang berharga di sisi Allah, karena kita selalu menyediakan waktu setiap hari untuk dekat dan mencintai Kitabullah.
MASALAH SERIUS
Problem yang sering muncul ketika kita mulai mencintai Al Qur’an adalah omongan was-was yang keluar dari lisan-lisan manusia. Was-was itu begitu menyesakkan dada, sehingga seringkali membunuh keinginan seorang insan  untuk mencintai Kitabullah.
Misalnya, kita sudah rutin setiap hari membaca Al Qur’an satu halaman. Hal ini sudah disesaikan dengan kesempatan, kemampuan, kebutuhan, serta kondisi sekitar. Tidak banyak memang, hanya 1 halaman per hari. Tetapi hal itu rutin dilakukan, setiap hari, secara konsisten; dan kita sudah merasakan hasil barakah ruhani dengan amalan harian itu. Lalu datang seseorang mencela amal kita itu. Katanya, amal Al Qur’an kita terlalu sedikit.
Orang itu berkata: “Imam Syafi’i saja setiap Ramadhan, setiap hari beliau bisa khatam. Di Mesir ada shalat tarawih yang setiap malam menghabiskan 10 juz. Di India malah ada shalat tarawih yang khatam 30 juz dalam semalam. Mestinya kalau sudah berumur 20 tahun, kita sudah hafal Al Qur’an. Di Saudi banyak anak SMA sudah hafal Al Qur’an. Syaikh Qaradhawi hafal Al Qur’an saat usia 10 atau 12 tahun. Mestinya dalam sehari kita bisa menghabiskan 10 juz Al Qur’an, sehingga dalam 3  hari kita sudah khatam. Minimal, kita khatam sekali dalam sebulan. Anak-anak SD mestinya ketika lulus SD, dia sudah hafal 6 juz; anak SMP saat lulus hafal 6 juz; anak SMA saat lulus hafal 8 juz; seorang mahasiswa saat lulus sarjana hafal 8 juz; sehingga total hafal 30 juz.”
Cara menjawab perkataan seperti itu, antara lain…
Jangan samakan diri kita dengan Imam Syafi’i yang memang hafal Al Qur’an, mumpuni dalam bahasa Arab, Sastra, dan Tafsir. Beliau sendiri berkecimpung penuh dalam pelayanan ilmu-ilmu keislaman. Imam Syafi’i hidup di tengah masyarakat Islami yang mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Sementara kita hidup di negeri sekuler yang negara tidak bisa diandalkan untuk menjaga agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan kaum Muslimin.
Kalau ada orang yang mampu melakukan amal-amal yang banyak seputar Al Qur’an; bisa jadi dia adalah ulama, atau calon ulama; atau dia sehari-hari memang memiliki banyak kesempatan dan fasilitas untuk itu; atau dia belum berkeluarga sehingga masih banyak menikmati kebebasan situasi. Dan kita berharap dia benar-benar telah menjalankan kata-kata yang dia omongkan itu; sebab banyak terjadi, para penceramah, khatib, ustadz, murabbi, dll. mereka berbicara tinggi tentang Al Qur’an, sementara mereka sendiri tidak menjalani hal itu.
Kalau kita mampu dan diberi kesempatan melakukan amal-amal yang banyak seputar Al Qur’an, ya lakukan hal itu. Dulu para tahanan politik di era Orde Baru; mereka setiap hari selama di penjara bisa sepuas-puasnya membaca Al Qur’an; tetapi ketika mereka sudah keluar dari penjara, langsung drop kuantitasnya. Jika kita mampu, ada peluang, dan merasa mencintai; tidak mengapa beramal sebanyak-banyaknya.
Tetapi jika kita memang mampunya beramal sedikit, sesuai kemampuan dan kesempatan yang ada, ya lakukan yang sedikit itu. Jangan takut dengan omongan orang! Lakukan apa yang bisa dilakukan. Toh, sejujurnya kita tidak diwajibkan mencapai kuantitas sekian dan sekian. Tetapi kita harus berusaha mencintai Al Qur’an, agar ia menjadi sahabat kita dalam kehidupan sehari-hari; dengan demikian kita bisa berharap kelak di Akhirat akan mendapat syafaat dari Kitabullah Al Karim tersebut.
Demikian yang bisa disampaikan. Semoga risalah sederhana ini bermanfaat dan bisa diamalkan. Allahumma amin. Mulailah mencari jalan untuk mencintai Kitabullah! Jadikan ia sebagai amal harianmu, dan pelihara amal itu secara dawam (kontinue). Amal terbaik di sisi Allah ialah yang kontinue, meskipun sedikit sedikit. Wallahu a’lam bisshawaab.

Mengapa Wanita Mesti Menutup Aurat?

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Kalau membahas tema seperti ini, rasanya kita seperti kembali ke era 90-an lalu, dimana ketika itu muncul semarak dakwah seputar jilbab dan menutup aurat. Pembahasan ini akhirnya mesti dimunculkan lagi, karena telah terjadi konversi budaya yang sangat serius di tengah masyarakat Muslim modern di Indonesia saat ini. Budaya jilbab, menutup aurat, dan kesantunan wanita yang pernah semarak pada tahun 90-an hingga pertengahan 2000-an; kini telah berkeping-keping berganti budaya pakaian seksi, pamer aurat, pergaulan bebas, narsisme, westernisme, dll.
Jika ada kini seruan-seruan seputar jilbab, menutup aurat, atau hijab; rata-rata tendensinya bisnis, yaitu: jualan kerudung dan pakaian Muslimah. Untuk tujuan bisnis itu lalu diadakan “festival hijab”, pagelaran mode jilbab dan busana Muslimah, dibuat majalah life style “ala jilbab”, digunakan ikon-ikon model dan selebritis, dan seterusnya. Tujuan esensinya, mencari duit untuk membiayai gaya hidup modern yang memang mahal; dengan cover menghidupkan busana Syariat.
Syariat Jilbab Melindungi Aset Kehidupan Kaum Wanita.
Bagi para pemerhati busana Muslimah di Indonesia, tidak bisa melupakan peranan Ane Rufaidah; seorang mantan pragawati dan perancang busana tersohor. Dialah yang mula pertama membelokkan haluan jilbab Syar’i menjadi jilbab modis (life stylist). Jika semula jilbab digunakan benar-benar untuk tujuan Syar’i; lalu di tangan Ane Rufaidah, ia memiliki nilai pencitraan, pamer kecantikan, serta bermegah-megah dengan aksesoris (sesuatu yang bukan missi Syariat). Tentu saja, keberanian Ane Rufaidah lalu diikuti yunior-yuniornya dalam me-modiste-kan pakaian Syar’i. Tidak aneh, jika KH. Rahmat Abdullah rahimahullah (mantan tokoh senior PKS), pernah mengkritik keras “sunnah” yang dirintis Ane Rufaidah itu.
Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw bersabda: “Man sanna sunnatan saiyi’atan fa lahu itsmun ka mistli atsami man tabi’ahu wa laa yanqushu min atsamihim syai’a” (siapa yang memulai sunnah keburukan, maka baginya dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikit pun). Tidak terbayang sebesar apa beban yang kelak akan dipikul seseorang karena keberaniannya merintis jalan untuk menyingkirkan busana Syariat, menjadikan busana modis (meskipun melanggar batas-batas Syariat).
Dulu di awal 90-an, kerudung Rabbani itu sangat kecil. Ia hanyalah sebuah toko kecil di gang, menyediakan keperluan-keperluan Muslimah. Letaknya di dekat Monumen Rakyat Jawa Barat, kawasan Dipati Ukur Bandung. Kini ia sudah menjadi sebuah pabrikan kerudung besar dan menjadi ikon kerudung kelas menengah. Dulu orientasinya murni Syariat, kini murni bisnis. Dalam Ramadhan tahun lalu, Rabbani mendapat liputan khusus dari sebuah acara feature stasiun TV. Dalam acara itu owner Rabbani, seorang ibu-ibu, tidak malu-malu mengklaim, bahwa kerudung Rabbani sengaja dibuat dengan aneka model untuk mempercantik penampilan wanita; seorang wanita bisa memilih kerudung yang sesuai warna kulit dan bentuk wajahnya.
Majalah Ummi dulu juga sangat selektif dalam mencantumkan gambar Muslimah. Hanya gara-gara ada foto pengungsi laki-laki yang kelihatan auratnya (paha) di atas air, hal itu sudah mengundang protes. Orientasi Syariat mereka waktu itu sangat ketat. Bukan sekali dua kali mereka membahas soal “hukum fotografi”. Tetapi saat ini kalau melihat majalah itu, isinya banyak sekali iklan wanita-wanita NARSIS, sambil memakai kerudung, busana Muslimah modis, mukena, dll. Saya pernah mencermati beberapa edisi majalah itu sekaligus; dalam setiap edisi setidaknya ada 25 halaman iklan wanita-wanita NARSIS. Komitmen Syariat itu telah tersingkir jauh dengan alasan: mencari duit untuk membiayai gaya hidup zaman modern yang semakin mahal. Demi membeli life style, apapun yang berharga di sisi kita (termasuk komitmen Syariat) dilego obralan, obralan.
Tingkah para pebisnis ini, mau tidak mau, suka tidak suka, lama-lama jadi merusak Syariat. Alih-alih mereka akan menghidupkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Malah merusak agama itu sendiri. Nas’alullah al ‘afiyah fid dunya wal akhirah.
Dalam tulisan sederhana ini, insya Allah akan disampaikan hikmah maknawi ketika ajaran Islam memerintahkan kaum wanita untuk menutup aurat. Semoga kita bisa memetik sebaik-baik pelajaran. Amin Allahumma amin.
WANITA MAKHLUK LEMAH
Kita tentu sering mendengar ungkapan: “Bagaimanapun wanita itu adalah makhluk yang lemah.” Kalimat ini merupakan kata kunci. Setiap orang bisa memaknai kalimat ini sesuai perspektif masing-masing. Tetapi yang dimaksud disini, bahwa kaum wanita rentan mengalami eksplotasi. Eksploitasi bisa datang dari kaum laki-laki, juga bisa dari sesama wanita.
Di antara bentuk-bentuk eksploitasi yang sering menimpa kaum wanita, antara lain:
[a]. Mengalami pelecehan seksual; [b]. Mengalami kekerasan seksual (pemerkosaan hingga pembunuhan); [c]. Mengalami agressi kekaguman dari laki-laki yang menyukainya secara berlebihan; [d]. Dijebak untuk diambil keuntungan darinya, baik keuntungan materi maupun non materi; [e]. Menjadi komoditas bisnis (dijual tenaga, kecantikan, keseksian tubuh, kemampuan seksual, kehidupan, hingga organ tubuhnya); [f]. Menjadi obyek penindasan dan kesewenangan; [g]. Dijadikan alat untuk merusak moral masyarakat luas (seperti menjadi model pornografi); [h]. Eksploitasi fisik secara berlebihan dengan kompensasi upah sangat minim; dan lain-lain.
Hal-hal demikian sudah sering kita baca, dengar, atau lihat sendiri dalam kehidupan masyarakat. Sering terjadi, semakin modern suatu peradaban, semakin kejam karakternya kepada kaum wanita.
Kapan dan dimana saja ada kaum wanita, disana ada peluang eksploitasi. Mengapa bisa demikian? Karena kaum wanita itu menarik di mata laki-laki; sementara diri mereka sendiri lemah. Siapapun yang memiliki daya tarik dan lemah, ia sangat rentan dieksploitasi orang lain. Kalau ada yang memiliki daya tarik, tetapi dia kuat; orang lain akan segan untuk mengganggu. Begitu juga, kalau lemah tetapi tidak menarik; orang lain juga segan mengganggu. Kaum wanita memiliki keduanya; diri mereka menarik, sementara dari sisi kekuatan lemah.
Sebenarnya kaum laki-laki juga tidak lepas dari unsur kelemahan seperti itu. Laki-laki juga bisa rentan ieksploitasi. Tetapi kaum laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan wanita, yaitu:
[1]. Secara fisik kuat dan mampu bergerak cepat; [2]. Berpikir logis, tidak mengandalkan perasaan. Bila terjadi insiden, cepat bertindak, bukan berteriak-teriak histeris; [3]. Secara fisik, kaum laki-laki tidak menarik bagi lawan jenisnya. (Sebenarnya menarik juga, tetapi tidak “seheboh” gambaran kaum wanita di mata laki-laki).
PROTEKSI OTOMATIK

Islam mengajarkan prinsip menutup aurat bagi kaum wanita ialah sebagai perlindungan dari ancaman eksploitasi. Perlindungan ini bersifat melekat; dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan apapun wanita itu berada. Karena perlindungan itu berupa pakaian yang dikenakan sang wanita yang memenuhi standar menutup aurat.
Esensi menutup aurat dalam Islam, ialah menutupi segala daya tarik yang bisa membuat kaum laki-laki berlaku beringas kepada wanita. Maknanya, menutupi keseksian diri, lekuk-lekuk tubuh, menutupi rambut, leher, dada, kulit, dan lainnya sehingga kaum wanita akan merasa aman dan terlindungan dimanapun dan kapanpun. Karena sebab-sebab yang memicu munculnya sikap agressi sudah ditutupi sedemikian rupa.
Di sisi lain, pakaian Muslimah yang rapi akan memancarkan sifat kewibawaan wanita. Mereka jadi tampak kharismatik, mulia, menimbulkan rasa segan di hati orang-orang yang melihatnya. Para selebritis yang biasanya pamer aurat, pamer paha, dada, dan seterusnya; saat mereka memakai jilbab secara rapi, tiba-tiba terpancar sifat kemuliaannya. Tidak heran jika banyak wanita yang tersangkut kasus hukum, mereka berlindung di balik busana Muslimah, karena efek kharisma dan sifat simpatik itu.
Setiap Muslimah memakai jilbab dan menutup aurat, maka dia akan mendapat perlindungan dari Allah, dari hukum Islam, serta dari kaum Muslimin. Jika ada gangguan terhadap wanita berjilbab, maka kaum Muslimin akan memberikan perlindungan tanpa terkecuali. Sedangkan tanpa memakai jilbab, maka seorang wanita tidak mendapat jaminan perlindungan, kecuali jika orang-orang yang ada di sekitarnya memiliki sifat pengasih dan tergerak untuk  melindunginya.
Inilah yang disebut sebagai “perlindungan otomatik” jika seseorang memakai busana Islami. Sebaliknya, meskipun memakai jilbab, jika pakaian yang dipakai sifatnya seksi; hal itu tidak akan melindungi seorang wanita dari agressi.
Secara yuridis, di sebuah negara hukum, setiap manusia (termasuk wanita) mendapat perlindungan legal dari perangkat-perangkat hukum yang ada. Tetapi banyak laki-laki memandang remeh perlindungan hukum itu, sehingga mereka berani melanggarnya. Berbeda dengan perlindungan otomatik yang diberikan oleh Islam melalui pakaian Muslimah yang sesuai Syariat; maka semua manusia akan cenderung menghargai seorang wanita yang memakai jilbab dan menutup aurat secara baik; kecuali pihak-pihak tertentu yang memang secara sengaja ingin berbuat kekerasan.
Pakaian Islami bagi wanita adalah sebentuk “perlindungan aktif” yang melekat pada diri wanita yang memakainya. Faktanya, di Eropa banyak masyarakat meributkan jilbab dan cadar. Mereka terus berpikir untuk mencari sandaran hukum guna melarang jilbab dan cadar. Mengapa bisa demikian? Karena adanya pakaian Islami itu otomatis memberi rasa aman bagi para pemakainya; sedangkan dalam budaya Eropa kaum wanita umumnya berpakaian bebas sehingga memungkinkan untuk dieksplotasi sedalam-dalamnya.
ESENSI MENUTUP AURAT
Menutup aurat ialah menutup semua pintu-pintu yang akan menyebabkan seorang wanita mendapatkan agressi dari lawan jenisnya (termasuk dari sesama wanita juga). Menutup aurat tidak identik dengan “memakai jilbab”, karena ternyata banyak wanita memakai jilbab, tetapi mereka tetap memakai pakaian seksi yang sangat mengundang agressi. Begitu juga, mentup aurat tidak identik dengan “menutupi rambut”, karena menutupi rambut belum menjamin rasa aman bagi kaum wanita dari tindak kekerasan.
Salah besar bagi para aktivis Hijabers, para ahli mode dan perancang busana, para model busana Muslimah yang menonjolkan gaya, kecantikan, dan perilaku “centil”. Apa yang mereka lakukan tidak selaras dengan amanah Syariat Islam untuk menjaga kaum wanita dari berbagai tindak pelecehen, kekerasan, dan eksploitasi seksual. Meskipun berjilbab, jika menonjolkan unsur penampilan dan kecantikan (bahkan keseksian), hal ini tidak akan melindungi kaum wanita itu sendiri.
Dalam konsep pakaian Islami, ada istilah jilbab dan khimar. Jilbab dalam arti sesungguhnya, bukanlah kerudung. Jilbab itu baju kurung dari kepala sampai kaki. Ia mirip dengan “mukena terusan” yang menutupi tubuh wanita dari atas sampai bawah. Di atas pakaian itu lalu dilapisi khimar (kerudung) yang terulur dari kepala sampai dada. Apa yang kita kenal di Indonesia sebagai kerudung, sebenarnya adalah khimar ini.
HIKMAH KEWAJIBAN SYARIAT
Sejauh berbicara tentang pakaian Muslimah yang menutup aurat, kita tidak akan bisa melepaskan diri dari dalil-dalil utama yang sering menjadi sandaran dalam hal ini. Di antaranya ialah sebagai berikut.
[a]. Surat An Nuur ayat 31: “Janganlah mereka (wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak. Dan hendaklah mereka mengulurkan kerudung sampai ke dada mereka.” Dalam hadits Asma binti Abi Bakar Radhiyallahu ‘Anhuma dijelaskan, bahwa perhiasan yang boleh tampak itu adalah: muka dan telapak tangan. Penjelasan ini sangat populer.
[b]. Surat Al Ahzab ayat 59: “Hendaklah mereka (wanita-wanita beriman itu) mengulurkan jilbab-nya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian ini agar mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu.” Dalam ayat ini jelas-jelas disebutkan “An yu’rafna fa laa yu’dzain” (agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu). Hal ini mengkonfirmasi apa yang tadi kita sebut sebagai “perlindungan otomatik”.
Syariat Islam telah mewajibkan kaum Muslimah memakai jilbab dan menutup auratnya. Ia menjadi kewajiban yang pasti. Pertanyaannya, mengapa Islam mewajibkan hal itu? Apakah tidak ada toleransi di dalamnya?
Kewajiban mutlak dalam menutup aurat ini, tentu berlaku di ruang publik; bukan di ruang privat kaum wanita (di rumah atau kamar miliknya). Hal ini menandakan bahwa sifat lemah kaum wanita dari ancaman agressi oleh pihak-pihak lain bersifat permanen, bahkan laten. Sehingga Islam tidak memberi peluang timbulnya kezhaliman terhadap kaum wanita. Fakta berbicara, di negara-negara yang kaum wanitanya memiliki budaya menutup aurat secara rapi (seperti Saudi, Pakistan, Malaysia), resiko terjadi kekerasan terhadap wanita relatif kecil.
Dalam Surat An Nuur 31 disebutkan sebuah toleransi: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada…pelayan-pelayan laki-laki (mereka) yang tidak mempunyai keinginan (kepada wanita), atau anak-anak yang belum terpengaruh oleh pesona aurat wanita.”
Keterangan ini menjadi penjelas, bahwa hukum menutup aurat dan memakai jilbab, benar-benar untuk melindungi kaum wanita dari ancaman agressi oleh pihak-pihak lain (terutama kaum laki-laki). Terhadap laki-laki yang kehilangan nafsu birahinya kepada wanita; juga kepada anak-anak yang belum terpengaruh jika melihat aurat wanita; boleh menampakkan aurat. Tentunya masih dalam batas-batas kesopanan, bukan menampakkan bagian-bagian paling sensitif dari tubuh wanita.
Demikianlah, bahwa Islam memberikan pengajaran yang sangat baik. Kaum wanita adalah makhluk lemah, rentan mengalami eksploitasi. Maka busana Muslimah yang menutup aurat secara baik, adalah sebentuk “perlindungan otomatik” yang melekat bersama wanita, dimanapun dan kapanpun mereka berada. Spesial, bagi s@rjana hukum atau siapa saja yang mengajarkan nilai-nilai perlindungan hukum; mereka mesti memahami esensi nilai luhur dari Syariat jilbab dan menutup aurat ini.
Semoga bermanfaat dan berterima di hati yang jernih dan tulus. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Sabtu, 30 Juni 2012

Agar Nafkah Keluarga Menjadi Berkah

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.
Allah berfirman,

{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89).
Dan ketika sahabat yang mulia, Salman Al-Farisy radhiallahu ‘anhu ditanya oleh seorang musyrik, Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab, ”Benar, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar dan ketika buang air kecil…[1]
Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, dengan tujuan untuk membimbing orang-orang yang beriman agar mereka meraih keberkahan dan keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam pembelanjaan harta mereka yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.”[2]
Disamping itu, mengatur pembelanjaan harta sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala merupakan cara terbaik untuk mengatasi keburukan nafsu manusia yang tidak pernah puas dengan harta dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[3]
Juga sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[4]

Kewajiban mengatur pembelanjaan harta

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.”[5]
Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hAl-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia.[6]
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idha’atul maal (menyia-nyiakan harta).[7]
Arti “idha’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan.[8]

Antara pemborosan dan penghematan yang berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqaan: 67)
Artinya, mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan).[9]
Juga dalam firman-Nya,

{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29)
Imam Asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Arti ayat ini, larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah.”[10]

Waspadai fitnah (kerusakan) harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.”[11]
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. At-Tagaabun: 15).[12]
Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[13], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau, “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga.”[14]
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan), Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya.[15]
Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf  berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan.”[16]

Zuhud dalam masalah harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hAl-hal yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya, Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata, “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata, Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.”[17]
Salah seorang ulama salaf berkata, “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu.”[18]

Jangan lupa menyisihkan sebagian harta untuk sedekah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS. Sabaa’: 39).
Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat.[19]
Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya.”[20]
Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hAl-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata.”[21]
Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.
Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma.”[22]
Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria.”[23]
Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.”[24]

Nasehat dan penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapapun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.
Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[25]
Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[26]
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[27].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.”[28]
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 1 Dzulhijjah 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A.
Artikel www.manisnyaiman.com
footnote:
[1] HSR Muslim (no. 262).
[2] HSR Al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).
[3] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[4] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.
[5] HR At-Tirmidzi (no. 2417), Ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani dalam “As-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[6] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).
[7] HSR Al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).
[8] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).
[9] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
[10] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).
[11] HR At-Tirmidzi (no. 2336) dan Ahmad (4/160), dinyatakan shahih oleh imam At-Tirmidzi dan Al-Albani.
[12] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
[13] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).
[14] HSR Al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[15] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).
[16] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).
[17] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).
[18] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).
[19] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).
[20] HSR. Muslim (no. 2588).
[21] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).
[22] HSR Al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).
[23] HSR Muslim (no. 2626).
1 HSR Al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
2 HSR Al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[26] HSR Muslim (no. 34).
[27] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[28] HSR Muslim (no. 1054).

Selasa, 19 Juni 2012

Mulai Dari Yang Kecil…

Ide boleh besar, visi  harus bisa melihat jauh kedepan, tetapi untuk menjadi realita  - hampir semua usaha harus dimulai dari yang kecil yang berada pada jangkauan kita. Berani memulai dari yang kecil inilah awal dari keberhasilan dan perubahan besar. Mark Zuckerberg-pun yang melahirkan fenomena baru dalam jaringan pertemanan dunia, dia memulai dari lingkungan kampusnya di  Harvard. Memulai dari yang kecil juga memudahkan kita untuk bisa melalui death valley – lembah kematian – yang mayoritas (calon) entrepreneur harus melaluinya.

Kalau kita amati bisnis-bisnis besar yang ada di sekitar kita selalu bisa dijelaskan dengan cara yang sederhana, dan bisa dimulai dari yang kecil. Ambil contoh misalnya fenomena air mineral dalam gelas yang kini meraksasa, seandainya konglomerat pemilik usaha tersebut ditanya cucunya yang masih SD “Apa pekerjaan kakek?  jawabannya kemungkinannya begini : “kakek mengambil air dari gunung, memasukkannya ke dalam gelas-gelas plastik lalu menjualnya”.

Dengan penjelasan yang sederhana tersebut, anak kecil-pun mudah untuk memahami bisnis kita. Kalau bisnis kita mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan pasar, maka disitulah peluangnya. 

Catherine Kupa dalam bukunya “Breakthrough Branding” (SelfBrand LLC, London 2012) menulis kurang lebih begini : “Bila ide business Anda tidak cukup untuk Anda tuliskan di belakang kartu nama Anda, atau bila ide bisnis Anda tidak bisa dijelaskan ke  anak usia 10 tahun – maka kemungkinannya ide Anda tersebut adalah a big bad idea, ide besar yang buruk…”.

Memulai dari yang kecil yang dalam jangkauan Anda untuk memulainya sendiri juga akan membuat perjalanan usaha Anda enjoyable, less stress karena tidak dikejar-kejar oleh investor Anda. Death valley-pun akan terasa nyaman karena disanalah Anda bisa bereksperimen sepuasnya  dan cukup aman untuk mengambil resiko.

Bila dari awal usaha Anda sudah melibatkan investor untuk memulainya, kemungkinan Anda juga terpaksa harus berkompromi. Bukan hanya terkait hasil materi dari usaha Anda, tetapi juga terkait nilai-nilai yang Anda perjuangkan. Investor yang punya modal hampir pasti memiliki nilai-nilainya sendiri, demikian pula Anda. Kerjasama hanya akan terjadi bila nilai-nilai tersebut dapat dipersatukan, artinya harus ada kompromi.

Hal ini bisa baik dan bisa juga tidak. Menjadi baik ketika nilai-nilai yang dibawa investor adalah nilai-nilai kebaikan sehingga mampu memberi nilai tambah terhadap ide bisnis Anda. Menjadi tidak baik manakala investor hanya peduli dengan hasil dan tidak menganggap penting nilai-nilai kebaikan, maka Anda hanya akan ditargetkan sebagai mesin uang bagi investor ini – dan bila mesin uang ini tidak berjalan semestinya – di sanalah masalah besar menunggu.

Mulai yang kecil yang dalam jangkauan-pun tidak akan membatasi peluang ide usaha Anda untuk menjadi besar. Langkah kecil dan sederhana bisa menjadi usaha yang besar atau bahkan sangat besar seperti fenomena air mineral dan facebook di atas bila langkah kecil dan sederhana ini bisa mengubah atau menciptakan trend atau fenomena baru di masyarakat.

Untuk mempraktekkan ide ‘mulai dari yang kecil yang menciptakan trend atau fenomena baru di masyarakat’ inilah beberapa hari lalu saya mengajak Anda untuk meresponse Quiz Kecerdasan IV dengan tema “ Perubahan Besar Apa Yang Bisa Saya Mulai dari Warung Kopi ?”.

Bayangan saya bila kelak usaha Anda ini sukses dan Anda diminta menjelaskan ke anak cucu Anda tentang usaha ini, jawaban Anda kurang lebih begini : “Pekerjaan kakek adalah jualan kopi, tetapi orang-orang ramai berdatangan bukan hanya karena ingin minum kopi, mereka ramai berdatangan karena ingin (melakukan)…”.

Quiz Kecerdasan IV tersebut baru akan saya umumkan hasilnya awal Ramadhan, agar cukup waktu bagi Anda yang berminat untuk meresponnya. Siapa tahu dari yang kecil ini bisa dilakukan perubahan yang besar…., InsyaAllah.

Selasa, 22 Mei 2012

Bioeconomy : Peluang Bagi Umat Di Negeri Katulistiwa…

Ketika di pesantren dahulu Pak Kyai mengajari kami untuk menghafal surat Al-Waqi’ah agar tidak jatuh miskin, kami mengira bahwa hanya dengan menghafalnya kita akan bisa menjadi kaya. Tentu saja ini juga mungkin bila Allah menghendaki, tetapi lebih dari itu surat Al-Waqi’ah ternyata memang bisa bener-bener menjadi sumber kekayaan suatu bangsa bila bangsa ini mampu memahami dan menggali maknanya sampai ke tingkat aplikasinya di berbagai aspek kehidupan. Konsep baru economy yang mulai banyak dibicarakan di dunia barat sejak beberapa tahun terakhir seperti Bioeconomy misalnya, sebenarnya hanya salah satu saja contoh dari aplikasi ayat-ayat tentang tanaman, air dan api di surat tersebut.

Bioeconomy atau biobased economy atau ada juga yang menyebut biotechonomy adalah seluruh kegiatan economi yang dikembangkan berdasarkan mekanisme dan proses pada tingkat genetika dan molekuler yang kemudian diterapkan pada proses industry untuk menggerakkan ekonomi.

Bioeconomy menggunakan sumber-sumber biomass dari tanaman-tanaman yang umumnya kita kenal, sampai ke tanaman-tanaman yang tidak biasa kita kenal seperti rumput laut, algae dlsb. Proses pemanfaatannya juga bervariasi dari proses pengolahan yang umumnya sudah kita kenal sampai dengan proses-proses canggih seperti apa yang disebut anaerobic digestion pada produksi ethanol, pyrolysis untuk menghasilkan pyrolysis-oil, atau bahkan torrefaction untuk menghasilkan ‘biomass coal’.

Inti dari bioeconomy ini adalah bagaimana kita bisa menghasilkan nilai tambah maksimal dari sumber bahan baku biomass yang minimal. Untuk apa produk akhirnya ?. Ya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling dasar seperti makanan, obat-obatan, sampai juga energy.

Nilai tambah ekonomi yang dapat dilipat gandakan dari tumbuh-tumbuhan dan tanaman di sekitar kita, baik untuk keperluan bahan pangan sampai kebutuhan energy inilah yang sebenarnya sudah lebih dari 1400 tahun petunjuknya disampaikan ke kita melalui serangkaian ayat di surat Al-Waqi’ah tersebut di atas. Perhatikan rangkaian ayat –ayat berikut misalnya :

Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya? Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka jadilah kamu heran tercengang. (Sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian, bahkan kami menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa."” (QS 56 : 63-67)

Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” (QS 56 :68-70)

Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan. Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya? Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS 56: 71 -73)

Tiga kelompok  ayat tersebut berbicara tentang tanaman, air dan api (energy) – ketiganya merupakan komponen utama dari bioeconomy yang paling dasar. Dimana ketiganya bertemu secara melimpah ?, Di Indonesia, negeri tropis di sabuk katulistiwalah ketiganya tersedia atau bisa dihasilkan secara melimpah.

Api yang berguna bagi musafir di padang pasir di  QS 56 : 71-73 misalnya, dahulu sebelum orang bepergian dengan kendaraan seperti sekarang ditafsirkan sebagai api yang dinyalakan dari gosokan kayu – untuk menenerangi perjalanan di malam hari. Tentu saja ini juga masih berlaku sampai kini, hanya saja orang sekarang bepergian dengan kendaraan bermotor – tidak perlu lagi menggosokkan kayu bakar untuk menyalakan api.

Jaman berubah, teknologi terus berkembang, tetapi bahwa api atau energy dari tanaman atau kayu ini tetap valid hingga kini. Melalui salah satu proses anaerobic digestion diatas misalnya, orang bisa menghasilkan ethanol atau bahan bakar dari bahan-bahan tanaman – biomass. Ethanol ini kemudian salah satunya dapat digunakan untuk ‘menyalakan api’ mesin-mesin transportasi modern yang berguna bagi  'para musafir  di padang pasir’ !.

Maka sebelum penguasaan ekonomi generasi baru yang disebut bioeconomy inipun dikuasai oleh negeri-negeri barat, sudah seharusnya kalau kita bisa berusaha lebih keras agar  lebih bisa memahami dan menangkap peluang ini. Karena ditangan kita bukan hanya tersedia ilmunya, tetapi kita juga telah lama diberi segala sumber daya alamnya dan bahkan juga telah diberi petunjukNya.

Tinggal kita gali maknanya, kita eksplorasi penerapannya – maka insyaallah era bioeconomy ini adalah milik kita – umat yang berada di negeri tropis katulistiwa. Insyaallah.

Berkontribusi Agar Yang Sedikit Menjadi Cukup…

Oleh : Muhaimin Iqbal
Ke-optimis-an saya dalam memberikan pelatihan entrepreneurship sering berbenturan dengan realita di lapangan bahwa faktanya mayoritas (calon) entrepreneur gagal mencapai tujuannya. Bahkan statistiknya di dunia-pun hanya 2 % sampai 20 % usaha pemula yang berhasil, tergantung bidang yang dipilih. Tetapi mengapa upaya menghasilkan para entrepreneur tersebut layak untuk terus diperjuangkan ? Ini adalah karena yang gagal-pun sebenarnya berkontribusi pada masyarakat luas dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan memberi peluang yang lain untuk berhasil.

Bukan hanya yang berhasil yang berperan, tetapi semua yang ikut mencobanya yang ikut berperan menciptakan lapangan kerja di masyarakat, memutar ekonomi, menggali peluang, mengatasi tantangan, menanggung resiko dlsb. sehingga secara akumulatif berputarlah ekonomi, terciptalah lapangan kerja dan mengalirlah penghasilan bagi masyarakat keseluruhan.

Ada cerita menarik dari perang Tabuk yang bisa kita jadikan inpirasi untuk mendorong kontribusi umat dalam menyelesaikan masalah nasional maupun global, seperti problem kemiskinan, kelaparan dlsb. Cerita lengkapnya saya ambilkan dari kitabnya Imam Nawawi “Riyadush Shalihin” berikut:

Ketika perang Tabuk orang-orang kelaparan, mereka berkata  : “Wahai Rasulullah, sekiranya engkau memberi ijin, kami akan menyembelih unta kami untuk kami makan dan lemaknya kami buat minyak”. Rasulullah menjawab : “Lakukanlah”. Umar datang lalu berkata : “Wahai Rasulullah, bila engkau lakukan seperti itu kendaraan akan menjadi sedikit. Tetapi perintahkanlah mereka untuk mengambil bekal mereka yang terisa, kemudian berdo’alah kepada Allah agar makanan tersebut berkah. Barangkali Allah mengabulkan, sehingga makanan tersebut menjadi berkah”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab “Ya”, lalu beliau memerintahkan untuk digelarkan tikar, kemudian memerintahkan agar sisa bekal mereka dikumpulkan. Lantas datang seorang laki-laki membawa segenggam jagung, ada yang membawa segenggam kurma dan ada yang membawa segenggam roti.  Sehingga terkumpullah di atas tikar sesuatu yang serba sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan agar diberi berkah. Lalu beliau bersabda : “ Ambillah dan masukkanlah ke wadah kalian”. Lalu mereka mengambil makanan tersebut dan dimasukkan ke kantong, bejana dan wadah-wadah mereka. Seluruh tempat diperkemahan itu dipenuhi makanan. Mereka makan hingga perutnya kenyang dan sisanya masih ada. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Aku bersaksi, bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Bila seorang berjumpa dengan Allah (kelak di hari kiamat) dan dia telah mengucapkannya, dia tidak ragu, maka wajib baginya surga.”” (HR. Muslim).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah kekasih Allah, kalau berdo’a pasti  dikabulkanNya. Tetapi mengapa beliau tidak langsung berdo’a saja ? mengapa beliau harus mengumpulkan dahulu bekal-bekal yang masih tersisa meskipun serba sedikit dari pasukannya di perang Tabuk tersebut ?. Inilah prinsip dasar kontribusi kita dalam membangun keberhasilan.

Allah maha kuasa untuk menciptakan apa saja, termasuk menciptakan kecukupan pangan dan rezeki untuk makhluknya yang sepenuh bumi. Tetapi apa kontribusi kita dalam perjalanan menuju kesana ?. Kontribusi kita adalah ketika kita bekerja keras menciptakan lapangan pekerjaan, bekerja keras dalam berusaha memakmurkan bumi. Kontribusi kita adalah ketika kita  bekerja keras ditempat-tempat kita bekerja yang bebas dari kedholiman, tidak mengambil hak orang lain dan bebas riba - karena kalau lingkungan kerja kita masih ada riba kita bukan berperang di jalanNya tetapi berperang melawanNya ( QS 2 :279). Meskipun kontribusi ini serba sedikit, tetapi semoga yang dengan serba sedikit itulah Allah mendatangkan barakahNya.

Tidak semua harus berhasil memang, tetapi Allah pasti tidak menyia-nyiakan amal perbuatan kita.  Hal ini seperti orang-orang yang diperintahkan untuk berjihad, Allah sendirian mampu mengalahkan semua musuhNya – tetapi Dia hendak menguji kita satu sama lain, siapa yang mengikuti perintahNya dan siapa yang tidak. Dan bila dengan ijinNya pula diantara kita ada yang syahid di jalanNya, maka insyaAllah Dia-pun tidak menyia-nyiakan amalan kita.

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti. Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka.” (QS 47 :4)

Peperangan yang ada di depan mata kita kini adalah perang melawan ketidak-adilan system ekonomi yang membuat amat sangat kaya segelintir orang dan memiskinkan mayoritasnya. Perang terhadap system ekonomi yang membuat orang menghalalkan segala cara, memakan riba dan menjerat mayoritas pekerja dalam genggaman kekuasaannya. Perang terhadap system ekonomi yang menciptakan ketergantungan suatu negeri dengan (produk) dari negeri lain. Maka dengan bekal yang serba sedikit yang kita kumpulkan – semoga Allah memberkahinya sehingga cukup untuk kita semua, semoga Allah memerdekakan kita dari cengkeraman ketidak adilan dan debu-debu riba. Amin.