Kamis, 15 Maret 2012
Belajar Setenang Pagi
Pagi selalu hening. Itulah wajahnya. Wajah aslinya. Jika kita bisa seperti pagi, kita pun akan merasa nyaman. Tapi ternyata tidak selalu bisa demikian. Atas banyak tugas dan kewajiban kita masih sering terburu-buru. Tergesa-gesa. Ya, terburu-buru karena kurang siap menyambut pagi. Karena bangun selepas adzan shubuh berkumandang.
Shalat terburu-buru karena khawatir matahari terbit meninggi. Mandi terburu-buru khawatir tak nutut berangkat kerja. Sarapan pun terburu-buru. Serba terburu-buru karena tak sehati dengan pagi.
Tentang terburu-buru, waspadai yang seperti ini: terburu-buru dalam bertindak. Terburu-buru dalam beramal.
Terburu-buru. Tergesa-gesa. Itulah watak manusia. Karena sikap ini, banyak manusia celaka. Paling tidak, ia menyesal atas apa yang dilakukannya. Namun hal itu tidak akan pernah menimpa seorang mukmin, karena baginya berlaku muhasabah sebelum beramal.
Imam Hasan al Bashri rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika (amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian ulama menjabarkan ucapan Hasan al Bashri dengan mengatakan, “Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan bertekad melakukannya, maka ia berhenti sejenak dan melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak dalam kemampuannya, maka ia tinggalkan. Namun jika mampu, ia berhenti lagi untuk menimbang, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya atau sebaliknya. Jika ternyata lebih baik meninggalkannya, ia tinggalkan.”
“Jika melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya,” kata ulama, “ia akan berhenti dan kembali menimbang, apakah pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahalanya atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? “
Lebih lanjut dikatakan, “Jika hanya untuk sekedar mendapatkan kedudukan atau pujian dan harta, ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada keinginannya, agar jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak terasa ringan untuk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringannya dalam beramal untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, seukuran itu pula beratnya dalam beramal untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga hal itu menjadi sesuatu yang paling berat buatnya.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar