- Senin, 26 Maret 2012 , 07:03
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Tahun
1997-1998 Indonesia mengalami krisis yang sangat berat, awalnya adalah
krisis ekonomi, krisis daya beli uang yang kemudian popular dengan
sebutan krisis moneter (krismon). Tetapi kemudian berujung
pada krisis politik, berupa krisis kepercayaan yang ditandai dengan
berakhirnya rezim orde baru yang telah bercokol 32 tahun di negeri ini.
Kini 14 tahun kemudian, apakah kondisi mayoritas rakyat negeri ini lebih
baik dari saat itu ?.
Bila
dilihat dari sisi ekonomi, khususnya dalam bentuk pendapatan per kapita
memang seolah terjadi peningkatan yang luar biasa. Pendapatan per
kapita rakyat Indonesia tahun 1998 adalah sekitar US$ 1,200; melonjak
tiga kalinya tahun lalu menjadi di kisaran US$ 3,600. Tetapi mengapa
rakyat tidak merasa tambah makmur ?, ya karena daya beli uang yang
dipakai untuk mengukur kesejahteraan tersebut terus merosot – baik itu
Rupiah maupun US$.
Harga
emas dunia tahun 1998 di kisaran US$ 300/Ozt, naik lebih dari 5 kalinya
menjadi di kisaran US$ 1,600/Ozt tahun lalu. Dinar pada awal tahun 1997
adalah di kisaran Rp 130,000; kemudian melonjak pada saat krismon 1998
menjadi di kisaran Rp 400,000 dan kini juga melonjak lebih dari lima
kalinya sejak 1998 – menjadi di kisaran Rp 2,200,000.
Kalau
kita gunakan indikator harga emas atau Dinar sebagai cerminan inflasi
harga barang-barang – karena Dinar terbukti setara 1 ekor kambing Qurban
selama 1,400 tahun lebih, maka dengan mudah kita bisa memahami mengapa
mayoritas rakyat tidak mengalami perbaikan kesejahteraan setelah 14
tahun era reformasi. Pendapatan rata-rata mereka naik tiga kalinya,
tetapi harga barang-barang naik lima kalinya !.
Ini
baru dari satu sudut pandang saja yaitu sudut pandang ekonomi.
Bagaimana dengan sudut pandang yang lain seperti politik, sosial,
disiplin masyarakat, kepatuhan hukum, keimanan dlsb. apakah lebih baik
?, biarlah para peneliti dan diri kita sendiri yang menjawabnya dengan
jujur.
Ada
do’a yang indah yang rata-rata dicantumkan di halaman akhir Al-Qur’an
yaitu Do’a Khatmil Qu’ran, yang penggalan artinya kurang lebih ada yang
berbunyi begini :
“Ya
Allah…, jadikalnlah kehidupan hamba agar senantiasa lebih baik…Ya Allah
jadikanlah umur terbaik hamba di ujungnya, jadikanlah amal terbaik
hamba di penutupnya…”.
Tetapi
tentu ber-do’a harus diberengi dengan ikhtiar agar kehidupan kita
bener-bener bisa senantiasa lebih baik. Bila faktanya selama 14 tahun
rata- rata kita tidak lebih baik, bisa jadi karena kita kurang berusaha,
kurang berdo’a atau bahkan kurang keduanya.
Masalah
yang sama misalnya harga BBM, tetap selalu disikapi sama oleh
pemerintah dan oleh rakyat. Pemerintah selalu ber-argumen tidak punya
jalan lain kecuali menaikkan BBM, sedangkan rakyat menjerit karena
setiap kali kenaikan BBM selalu diikuti oleh lonjakan beban biaya hidup.
Bila tidak ada perbaikan dalam hal ini, maka sampai kapanpun akan terus
begini, pemerintah tidak memiliki solusi (selain dengan menaikkan harga
!) dan rakyat yang harus menanggung beban akibatnya.
Pertanyaannya
apakah benar tidak ada solusi itu ?, bukankah Allah selalu menjanjikan
jalan keluar bagi orang yang tertakwa (QS 65:2). Apakah kita belum
termasuk kelompok orang-orang yang yang dijanjikan jalan keluar tersebut
?. Bisa jadi ini juga masalahnya. Ada prasyarat untuk mencapai derajat
takwa ini yaitu Iman, itulah sebabnya penyebutan takwa tidak mendahului penyebutan Iman. “Barang siapa beriman dan bertakwa…”, bukannya “barang siapa bertakwa dan beriman”. Yang
diwajibkan berpuasa untuk menjadi orang bertakwa-pun hanya orang-orang
yang beriman (QS 2 :183), yang tidak atau belum beriman tidak diwajibkan
berpuasa !.
Jadi
sebenarnya orang tidak bisa hidup secara sekuler, melupakan iman ketika
lagi beraktifitas ekonomi, politik, sosial, budaya dlsb. seolah iman
hanya ada di masjid-masjid dan mushola-mushola. Bila kita melupakan
iman, kita tidak akan pernah sampai ke derajat
takwa karena prasyaratnya tidak terpenuhi. Bila kita tidak sampai
derajat takwa, maka tidak berlaku janjiNya di QS 65:2 bahwa pasti ada
jalan keluar bagi seluruh permasyalahan hidup kita !.
Agar
kehidupan kita selalu lebih baik, kita harus terus belajar
memperbaikinya. Belajar juga harus dengan kurikulum yang benar agar
sesuai dengan tujuannya, kurikulum inilah yang saya sebut sebagai
Kurikulum Kehidupan. Bila kita ingin perbaiki ekonomi, maka tentu kita
harus kuasai itu seluk beluk eknomi yang baik. Bila kita ingin perbaiki
politik, maka kita juga harus membangun budaya politik yang baik, dlsb.
Tetapi
itu semua tidak cukup bila Iman kita tidak bertambah baik dari waktu
kewaktu. Maka di antara kurikula kehidupan itu, ada kurikulum wajibnya
yaitu kurikulum Iman. Agar kemudian insyaallah kita bisa mencapai
derajat takwa, agar kita diberi jalan keluar dari setiap permasalah
kehidupan dan agar ketika kita menghadapNya, kita dalam kondisi beramal
terbaik kita.
Lantas
dimana kita bisa menempuh pembelajaran berkelanjutan dengan kurikulum
Iman ini ?. Anda bisa belajar dari para ustadz atau guru ngaji yang
mumpuni di sekitar Anda, bila kesulitan memperolehnya – insyaallah dalam
waktu satu dua bulan kedepan kita akan me-launch pembelanjaran keimanan bagi masyarkat luas yang kami sebut Quantum Iman.
Program ini nantinya bisa dijalankan secara massal di kantor-kantor,
instansi-instansi, di tempat-tempat kursus, di sekolah-sekolah, di
perguruan tinggi…., dimana saja pembelajaran Iman itu di perlukan.
InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar