Category: Positive
Parenting | M. Fauzil Adhim
Perkembangan otak yang paling pesat terjadi pada rentang
usia 0-8 tahun, baik secara fisik maupun intelektual. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi antara usia nol sampai
dengan enam tahun.Selama rentang waktu tersebut, IQ anak dapat melonjak
secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orangtua maupun pengasuh di day-care
–kita menyebutnya TPA—dan play-group. Selanjutnya, peran strategis tersebut dipegang oleh guru TK dan
SD kelas bawah, yakni kelas satu sampai dengan kelas tiga (itu sebabnya, perencanaan kurikulum TK perlu
dikerjakan bersama dalam satu
kesatuan dengan penyusunan kurikulum SD). Inilah masa paling penting untuk
membangun budaya belajar. Jika pada masa ini anak sudah memiliki
budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari kecakapan
belajar (learning skills) pada periode berikutnya, yakni orientation
stage, termasuk membangun orientasi hidup maupun orientasi akademiknya.
Jadi, yang perlu kita
bangun pada masa awal perkembangan anak di sekolah adalah budaya belajar (learning culture). Bukan
sekedar kebiasaan belajar (learning habit) dimana anak belajar karena
sekolah memang menciptakan lingkungan akademik yang menuntut anak
belajar, termasuk di dalamnya memberikan tugas-tugas. Setingkat lebih baik
adalah munculnya kebiasaan belajar karena lingkungan
akademik yang merangsang gairah anak belajar. Anak bersemangat di sekolah sehingga kegiatan belajar terasa
menyenangkan.
Apakah sebenarnya semangat itu? Keterlibatan emosi saat
melakukan suatu kegiatan sehingga kita merasakan situasi yang mengalir.
Keadaan ini bisa terjadi karena hati kita yang
gembira, peristiwa sebelumnya yang meluapkan perasaan positif, suasana yang
menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan antusiasme yang menyala-nyala,
rancangan lingkungan fisik sekolah
yang menggugah, dan berbagai aspek lain yang mempengaruhi emosi saat belajar.
Semakin tinggi keterlibatan emosi saat belajar, semakin efektif otak kita
bekerja. Belajar seharian penuh, tetapi anak merasakannya seperti bermain.
Asyik dan menyenangkan.
Sekolah yang menerapkan model belajar sehari penuh (full
day), harus memperhatikan ini. Sekolah
harus merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, antusias dan
positif agar anak memiliki semangat menyala-nyala saat belajar. Jika tidak,
anak bisa mengalami stress karena beban belajar yang melampaui “ambang
kesanggupan mental”. Stress yang berlangsung secara terus-menerus bukan
saja melemahkan kemampuan anak. Lebih dari itu, stress berkelanjutan merusak
mental dan kepribadian.
Nah.
‘Alaa kulli hal, ada hal lain yang perlu kita
perhatikan. Suasana belajar yang menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan
penuh antusiasme dan rangsangan fisik sekolah yang menggugah memang
mempengaruhi emosi anak. Mereka belajar dengan penuh semangat. Tetapi semangat
yang meluap-luap hanyalah bekal awal. Perlu ada upaya terencana membangun motivasi anak –tidak terkecuali
guru—sehingga melahirkan budaya belajar yang kuat.
Istilah motivasi sering jumbuh dengan semangat. Saya
sendiri kadang menggunakan dua istilah tersebut secara tidak tepat. Jika
semangat adalah keterlibatan emosi saat melakukan aktivitas, maka motivasi
adalah alasan yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Semakin kuat motivasi seseorang, semakin menyala semangatnya.
Artinya, motivasi merupakan salah satu faktor pemacu semangat anak. Semakin
kuat motivasi, semakin menyala-nyala semangat dalam diri anak.
Budaya belajar (learning culture) sangat
dipengaruhi oleh kekuatan motivasi. Jika anak
memiliki alasan yang kuat untuk bertindak, dan alasan itu mengakar dalam dirinya,
maka ia akan memiliki energi untuk terus belajar. Semakin kuat ia
membentuk budaya belajar dalam dirinya, semakin tangguh semangatnya menggali
ilmu meskipun lingkungan sekeliling tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya
budaya belajar menjamin berlangsungnya kebiasaan belajar (learning habit)
hingga jenjang pendidikan berikutnya, meskipun suasana belajar di jenjang
tersebut tak sebaiknya jenjang sebelumnya.
Inilah yang perlu kita
sadari ketika ingin mengembangkan budaya belajar. Lingkungan yang
mendukung memang sangat perlu. Guru-guru yang ramah, hangat dan bersahabat juga
tak dapat ditawar-tawar. Begitu pula lingkungan fisik sekolah yang merangsang
minat belajar, betapa pun sederhananya, sangat diperlukan.
Tetapi…
Tanpa membangun
motivasi intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gairah
belajarnya –bahkan perilaku positifnya—begitu mereka memasuki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Ketika masih berada di jenjang sekolah dasar,
semangat belajarnya sangat tinggi dan
prestasi akademiknya menakjubkan. Begitu memasuki jenjang pendidikan berikutnya,
minat belajar ambruk dan perilakunya kurang terarah karena –misalnya—anak
kecewa dengan sekolah barunya.
Pada kasus seperti ini, kita bisa menyalahkan jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi sekolah sebelumnya, yakni SD, tetap ikut bertanggung-jawab atas kegagalannya membangun motivasi siswa. Keadaan ini bisa terjadi, antara lain karena pihak SD tidak bisa membedakan –atau sengaja tidak membedakan—antara kebiasaan belajar dan budaya belajar. Mirip sekali wujudnya, lain sekali hakekatnya.
Apa yang diperlukan
untuk membangun motivasi intrinsik anak? Banyak hal. Yang sangat pokok
adalah menanamkan keimanan yang aktif. Maksud saya, sekolah
mengajarkan ‘aqidah kepada anak bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif.
Lebih dari itu, sebagaimana sifat ayat-ayat
yang pertama diturunkan –secara umum ayat-ayat Makkiyah—menggerakkan
mereka untuk bertindak karena Allah dan untuk Allah Yang Menciptakan. Sekolah
menggerakkan jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalatnya, ‘ibadahnya,
hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah ‘Azza wa Jalla
semata.
Artinya, ‘aqidah yang kuat menjadi daya penggerak (driving
force) bagi anak untuk bertindak dan menentukan arah hidup.
Agar guru mampu menanamkan keimanan yang aktif dengan ‘aqidah
shahihah, tak dapat ditawar-tawar lagi
‘aqidah mereka juga harus kuat. Sedemikian kuatnya sehingga ketika
berbicara, yang berkelebat dalam benaknya bukan sekedar teknik berbicara,
tetapi sudah menyatu dalam dirinya kata-kata bertenaga yang menggelorakan
motivasi anak-anak dan membakar semangat mereka untuk melakukan yang terbaik.
Kata-kata ini mengalir setiap saat karena memang sudah menyatu dalam diri guru.
Di luar itu, secara terencana sekolah dapat mengadakan
kegiatan yang secara khusus dimaksudkan
untuk membangun motivasi anak, baik yang bersifat harian, mingguan, bulanan,
tahunan atau berdasar rencana kegiatan insidentil. Motivasi harian misalnya
diwujudkan dalam bentuk kegiatan apel motivasi setiap pagi.
Selebihnya, guru perlu memberi tantangan yang cukup agar
motivasi tersebut tertanam lebih kuat. Tanpa tantangan, anak tidak belajar
hidup dalam “dunia nyata”. Apalagi jika mereka hanya kita besarkan dengan
fasilitas, tanpa tantangan akan membuat mereka seperti ayam sayur. Bukan ayam
kampung yang tak jatuh oleh panas dan tak tersungkur oleh hujan.
Artinya, harus ada keseimbangan antara fasilitas dan
tantangan. Awalnya tantangan sederhana yang bersifat fisik, lalu secara
berangsur kita hadapkan pada tantangan yang lebih
memeras pikiran dan tenaga. Pada akhirnya, kita tumbuhkan pada diri mereka
kepekaan untuk membaca tantangan bagi keyakinan dan ummat ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar