Category: Positive
Parenting | M. Fauzil Adhim
Rasulullah saw. pernah
mengingatkan, untuk mengawali bayi-bayi kita dengan kalimat laa ilaaha
illaLlah.” Kalimat suci inilah yang kelak akan membekas pada otak dan hati
mereka
Kalau anak-anak itu kelak tak menjadikan Tuhannya
sebagai tempat meminta dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab
utamanya. Kitalah yang menjadikan hati anak-anak itu tak dekat dengan Tuhannya.
Bukan karena kita tak pernah mengenalkan –meskipun barangkali ada yang
demikian—tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak.
Kerapkali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah dalam suasana menakutkan.
Mereka mengenal Allah dengan sifat-sifat
jalaliyah-Nya, sementara sifat jamaliyah-Nya hampir-hampir tak mereka ketahui
kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika orangtua hendak
menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka ketahui adalah boneka barbie.
Maka tak salah kalau kemudian mereka menyebut nama Allah hanya di saat terjadi
musibah yang mengguncang atau saat kematian datang menghampiri orang-orang
tersayang.
Astaghfirullahal ‘adziim…
Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika
mereka sedang melakukan kesalahan, atau saat kita membelalakkan mata untuk
mengeluarkan ancaman. Ketika mereka berbuat “keliru” –meski terkadang
kekeliruan itu sebenarnya ada pada kita—asma Allah terdengar keras di telinga
mereka oleh teriakan kita, “Ayo…. Nggak boleh! Dosa!!! Allah nggak suka sama
orang yang sering berbuat dosa.”
Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi
yang memang terlalu banyak untuk ukuran mereka, kita berteriak, “E… nggak boleh
begitu. Harus dihabiskan. Kalau nggak dihabiskan, namanya muba…? Muba…?
Mubazir!!! Mubazir itu temannya setan. Nanti Allah murka, lho.”
Setiap saat nama Allah yang mereka dengar lebih
banyak dalam suasana negatif; suasana yang membuat manusia justru cenderung
ingin lari. Padahal kita diperintahkan untuk mendakwahkan agama ini, termasuk
kepada anak kita, dengan cara “mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah
dan jangan membuat mereka lari”. Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika
kesan yang ia rasakan tidak menggembirakan. Sama seperti penggunaan kendaraan
bermotor yang cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan
pertolongan. Mereka “menjauh” karena telanjur memiliki kesan negatif yang tidak
menyenangkan. Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi
benih-benih penentangan kepada agama; Allah dan rasul-Nya. Na’udzubillahi min
dzalik.
Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di
hadapan mata kita. Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan,
sekarang sudah ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu
segera berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di
saat maghrib, sekarang di antara mereka ada yang berlari meninggalkan agama.
Mereka mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada
pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan dalam
kehidupan. Sebab, semenjak kecil mereka tak biasa menangkap dan merasakan
kasih-sayang Allah.
Agaknya, ada yang salah pada cara kita
memperkenalkan Allah kepada anak. Setiap memulai pekerjaan, apa pun bentuknya,
kita ajari mereka mengucap basmalah. Kita ajari mereka menyebut nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi kedua sifat yang harus selalu disebut
saat mengawali pekerjaan itu, hampir-hampir tak pernah kita kenalkan kepada
mereka (atau jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Sehingga
bertentangan apa yang mereka rasakan dengan apa yang mereka ucapkan tentang
Tuhannya.
Bercermin pada perintah Nabi saw. dan urutan
turunnya ayat-ayat suci yang awal, ada beberapa hal yang patut kita catat
dengan cermat. Seraya memohon hidayah kepada Allah atas diri kita dan anak-anak
kita, mari kita periksa catatan berikut ini:
Awali Bayimu dengan Laa
Ilaaha IllaLlah
Rasulullah saw. pernah mengingatkan, “Awalilah
bayi-bayimu dengan kalimat laa ilaaha illaLlah.”
Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di
awal kehidupan bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otaknya dan menghidupkan
cahaya hatinya. Apa yang didengar bayi di saat-saat awal kehidupannya akan
berpengaruh pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang
disampaikan dengan cara yang mengesankan. Suara ibu yang terdengar berbeda dari
suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching
style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality), memberi
pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada
diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ
balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu pelajaran yang bisa saya petik dari hasil
penelitian Bradley & Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the
Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the
First 5 Years.
Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan
apa yang kita ucapkan, Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana mengajarkan
untaian kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang.
Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah saw. berpesan:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu
beberapa kata ini sebagai nasehat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah
pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya
Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah
kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan
pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat manusia berkumpul untuk
memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang
telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu itu.Juga sebaliknya, apabila
mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu
mencelakaimu sedikit pun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan
lembaran takdir telah kering.” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jagalah hak-hak
Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah
ketika engkau berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu
ketika engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang
salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya. Dan
juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman tidak
berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan itu akan
datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama kesempitan akan ada
kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada kemudahan.”
Apa yang bisa kita petik dari hadis ini? Tak ada
penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa membalas setiap
kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada tempat bergantung
kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak bahwa tidak ada tuhan
kecuali Allah.
Wallahu a’lam bishawab.
Iqra’ Bismirabbikal
ladzii Khalaq
Sifat Allah yang pertama kali dikenalkan oleh-Nya
kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Karim, sebagaimana firman-Nya, “Bacalah
dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq: 1-5).
Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan
kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan
Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni
al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa kemana
pun kita menghadap wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Kita
tumbuhkan kesadaran dan kepekaan pada mereka, bahwa segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan muncul
kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk
kepada-Nya.
Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan
mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Dari sini kita ajak
mereka menyadari bahwa Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita
rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota
badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun, “Mana
matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah, Allah ciptakan
mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?”
Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses
penciptaan manusia. Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki
bangku sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain
merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran
–bukan hanya pengetahuan—bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu harus
menggunakan hidupnya untuk Allah.
Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat
kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita, yakni al-Karim.
Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan.
Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah
Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan
pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang
mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik kepada dirinya dan
memuliakan mereka yang mulia. Wallahu a’lam bishawab.* (Sumber: Suara Hidayatullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar