“Terus mereka
pegang-pegangan,” kata Fathimah melanjutkan, “Itu kan nggak boleh ya, Bunda?”
Istri saya tersentak. Cerita
yang sama sekali tak terduga. Sama seperti pertanyaan yang datang dengan
tiba-tiba, kerap membuat kita terkesiap kalau tak menyadari bahwa pertanyaan
anak datangnya selalu lebih cepat daripada jawaban yang tersedia di kepala
kita.
Maka sungguh, kita tak pernah
cukup mengantarkan mereka dewasa kalau kita hanya mengumpulkan perbendaharaan
jawaban yang berlimpah. Yang harus kita miliki adalah arah yang kuat dalam
mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang jelas dan kesediaan untuk terus
belajar. Kuncinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tunjukkan dalam
Surat An-Nisaa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (qaulan sadiida).”
Inilah
yang harus kita berikan. Ini pula yang harus kita tumbuhkan dalam diri
kita. Tetapi, astaghfirullahal-‘adziim, alangkah jauh kita dari Allah. Alangkah
rapuh ketakwaan kita kepada-Nya. Padahal Allah‘Azza wa Jalla telah menjanjikan
memperbaiki amal-amal kita, tidak terkecuali dalam menyiapkan anak-anak kita
menjadi kader dakwah yang iman selalu di hatinya, baik di saat tangan menggenggam
dunia seisinya atau pun ketika dunia terlepas dari dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang
siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya
ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzaab: 70-71).
Jalan Terbaik
Tak
ada jalan lain menghadapi cerita dan pertanyaan anak yang mengejutkan, kecuali
memanfaatkan saat terbaik ini untuk memberi pengertian dan mengarahkan hatinya
kepada kebaikan. Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita,
“seburuk apapun”, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya
kepada kita untuk menjawab. Maka, jalan terbaik adalah menghargai kepercayaan
dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya serta memberikan jawaban
yang mengena dan menghidupkan jiwa.
Artinya,
tak cukup hanya memberikan jawaban sehingga anak paham atau justru menimbulkan
pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Lebih dari itu, kita memberi jawaban
sembari menumbuhkan pada dirinya amanah untuk bertindak. Amanah yang kelak
Allah akan minta ia untuk mempertanggungjawabkan.
Mendengar
cerita anak saya, istri saya kemudian berkata dengan suara yang dalam dan
berat. Ia ajak Fathimah mendekat, sehingga adik-adiknya juga tertarik untuk
mendekat.
“Fathim,”
kata istri saya menahan tangis, “mereka sebenarnya sedang berbuat dosa. Di
antara mereka ada yang tidak tahu kalau itu perbuatan dosa karena mereka tidak
pernah belajar agama. Tetapi ada juga yang sudah tahu. Mereka mengerti
kalau perbuatan itu dosa, tetapi tidak mau mentaati.”
“Kalau mereka mengerti, kenapa
mereka tetap berbuat yang nggak baik? Kan mereka bukan muhrim, Bunda?” Fathim
bertanya.
“Nak,
untuk taat tidak cukup hanya mengerti. Mereka mungkin ingin menjadi orang yang
baik dan tidak berbuat dosa. Tetapi mereka tidak kuat menahan godaan,” kata
istri saya.
“Memangnya mereka digoda?
Siapa yang menggoda? Kan setannya nggak kelihatan,” tanya Husain menyergah.
Anak
yang kedua ini memang sering membuat kejutan dengan pertanyaan yang kritis.
“Kelihatan, Nak. Setan itu kadang menggoda lewat bisikan hati, kadang melalui
manusia, kadang melalui televisi,” kata istri saya menerangkan.
Kemudian
ia mengajak anak-anak berdiskusi tentang apa yang pernah mereka lihat di
televisi, meski kami lebih memilih untuk tidak punya televisi di rumah. Tetapi
bukankah di kereta api milik PJKA pun kadang tayangan yang disajikan sangat
merusak mental anak? Bukankah di bandara pun pesawat televisi senantiasa
menyala-nyala?
Istri
saya bertutur kepada mereka, seandainya televisi menayangkan program-program
yang baik untuk menambah keimanan dan kemuliaan, insya Allah, di rumah akan ada TV. Tetapi tayangan-tayangan di TV
memang lebih banyak sampahnya daripada manfaatnya.
“Tapi kan kita bisa melihat
berita?” tanya anak saya.
“Iya, Nak. Tetapi di televisi
lebih banyak gosip daripada berita. Kalau mau mencari berita, kita bisa baca di
koran. Setiap hari di rumah kan sudah ada tiga koran, bisa kita baca. Itu pun kita harus berhati-hati. Tidak boleh langsung
percaya,” istri saya menjelaskan.
Istri saya lalu bercerita
tentang James Yee, ulama Muslim militer Amerika yang menjadi korban paranoid
pemerintah Amerika Serikat. Ia
memang baru saja selesai membaca buku For God and Country
yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Ia bercerita kepada anak-anak
bagaimana James Yee difitnah, dipenjara, dan dianiaya hanya karena ia seorang
Muslim. Media massa Amerika sempat menulis berita yang menjelek-jelekkan James
Yee.
“Karena itu Nak, kalian semua
harus menjadi orang-orang cerdas. Kalian
semua harus memiliki iman yang kuat. Kalian semua harus menjadi manusia-manusia
cemerlang yang bisa menolong agama Allah,” kata istri dengan mata yang
berkaca-kaca.
Kemudian
ia mengusap kepala anak saya yang kelima, Muhammad Navies
Ramadhan,
sembari berkata, “Kelak, kamu harus memiliki bisnis yang besar. Dunia ada di
tanganmu, Nak. Tetapi di hatimu hanya ada cinta kepada Allah.”
Anak-anak
kami yang lain menatap. “Aku, Bun? Kalau sudah besar aku juga bisnis?” tanya
Husain.
“Iya,
Nak. Mukmin yang baik adalah yang paling kuat. Kuat imannya, kuat badannya,
kuat usahanya, kuat segala-galanya,” kata istri saya, “Namamu Muhammad Husain
As-Sajjad. Ahli sujud. Jadi apa pun kamu nanti, semuanya untuk bersujud kepada
Allah.”
Istri
saya kemudian menengok kepada anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah
Hasanin, “Kamu, Nak. Semoga kelak kamu seperti namamu, menjadi hadiah bagi
orangtua dengan dua kebaikan. Kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat,” kata
istri saya.
Airmatanya semakin tak bisa
ditahan, meski belum jatuh.
“Dan
kamu, namamu Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Kelak, jadilah kamu penolong agama
Allah,” ucap istri saya.
Kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam, membiarkan suaranya parau menahan tangis.
“Nak, ibu kadang-kadang
melihat apa yang kamu lihat saat di perjalanan,” kata istri saya sembari
menuturkan sebagian pengalamannya, “Ibu lalu berdoa sambil menangis dalam hati,
‘Ya Allah, lindungilah anak-anak kami dari keburukan dan kejahatan. Ya Allah, jadikanlah mereka anak-anak yang bisa
meninggikan kalimat-Mu. Ya Allah, jadikanlah mereka ahli berbuat kebaikan.’”
Istri
saya menangis. Anak-anak saling berpandangan.
Husain lalu berkata, “Jadi,
airmata jatuh ke dalam hati?
Istri saya terdiam.
Satu
pelajaran telah kami ambil. Anak-anak harus diberi imuniasasi jiwa. Bukan
sterilisasi. Tetapi untuk melakukan imunisasi, jarum suntiknya harus steril.
Dan jarum suntik itu adalah
pendidikan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar